1. Tahun Ajaran 2013/2014 Pemerintah Akan Menerapkan Kurikulum Baru
Pada tahun 2013 dunia pendidikan akan melahirkan terobosan yang baru
yaitu akan lahir kurikulum yang baru (kurikulum 2013?). Sepertinya
kurikulum yang akan lahir nanti menitik beratkan pada nilai prilaku,
nilai kepribadian, budi pekerti luhur atau lebih dikenal dengan
pendidikan karakter yang bermartabat. Saya tidak tahu latar belakangnya
mengapa nilai-nilai tersebut lebih diutamakan mulai tahun 2013, apakah
tahun-tahun sebelumnya tidak ditanamkan? Coba kita lihat pendidikan di
TK sudah lebih dulu menanamkan nilai-nilai karakter tersebut, atau ada
dampak lain dari lulusannya yang tidak melaksanakan niai-nilai
karakter? Ah enjoy saja deh.
Saya sangat setuju dengan konsep Mendikbud dalam merancang kurikulum
baru untuk lebih mempertajam nilai-niai karakter berkonsultasi dengan
pihak pondok pesantren. Sehingga Mendikbud sangat mengharapkan masukan dari pada kiayai.
Memang ponpes memiliki pengalaman yang sangat luar biasa terkait
pendekatan kurikulum yang digunakan. Pesantren memiliki pengalaman yang
luar biasa dalam menanamkan nilai dan membentuk karakter santrinya.
Ada pandangan dari para tokoh mengenai kurikulum pendidikan nasional
bahwa kurikulum pendidikan saat ini lebih terfokus pada penajaman
kemampuan kognitif dan cenderung meremehkan nilai dasar dari ilmu itu
sendiri, yakni perilaku dan karakter. Mata pelajaran kognitif dinilai
sampai detail, sedangkan untuk perilaku nilainya hanya menggunakan
huruf, sekelas bisa punya nilai sama.
Untuk diketahui, pemerintah tengah serius mematangkan kurikulum
pendidikan nasional yang baru. Rencananya, kurikulum itu akan mulai
digunakan mulai tahun ajaran 2013-2014.
2. (Mulai) Tahun 2013 Ujian Nasional Tanpa Pengawas Ruangan (?)
(Mulai) tahun 2013 Ujian Nasional akan 20 paket/ruang, artinya tiap
peserta UN akan menerima soal yang berbeda. Dan (mulai) tahun 2013
ruan Ujian Nasional tanpa pengawas.
Keberadaan 20 paket UN tiap ruang mungkin dilatarbelakangi dengan
adanya kecurangan pada pelaksanaan UN, sehingga tiap peserta dengan 20
paket tidak akan saling mencontek. (apakah benar dengan paket UN: 2
paket kemudian 5 paket, peserta UN semuanya saling mencontek dengan
paket yang sama?). Saya setuju saja paket UN berapapun karena saya
percaya bobot soal seimbang dan mengacu pada kisi-kisi jadi tidak
masalah dan itu untuk menguji kemampuan hasil belajar siswa secara
kognitif.
Dengan adanya 20 paket tiap ruang maka dipredikasi tidak akan ada pengawas ruang UN,
memang pada pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya pengawas sangat
diperlukan dan ada kesan “pengawasan yang ketat”, dengan adanya pengwas
UN dari luar sekolah maka seolah-olah pihak sekolah tidak dipercaya
untuk melaksanakan UN. Namun katanya masih ada kecurangan UN.
Semoga niat baik pemerintah pada tahun 2013 dapat berjalan dengan
lancar, dan kita sikapi sebagai kebangkitan pendidikan di abad modern
dengan “Semangat Menanamkan Nilai-Nilai Kejujuran“.
Jika UN benar-benar tanpa pengawas ruangan, maka akan sama jika para
siswa dilatih mengerjakan soal ulangan harian secara online dengan
menggunakan LMS, yang diperlukan hanya pengawas ruangan untuk menjaga
kelancaran koneksi, dan tipe soal pun bisa otomatis diset sejumlah
peserta atau sejulah soal kali jumlah option. Bagi sudah mencoba dengan
cara ini mungkin mengasyikkan, misalnya dengan menggunakan moodle atau
paket xampp edu.
anwar uniba
Senin, 13 Mei 2013
Senin, 29 April 2013
EWAN KEHORMATAN
DAN
PROSEDUR OPERASIONAL KODE ETIK GURU INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pengertian
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
(1) Dewan Kehormatan Guru
Indonesia (DKGI) adalah perangkat kelengkapan organisasi PGRI yang
dibentuk untuk menjalankan tugas dalam memberikan saran, pendapat,
pertimbangan, penilaian, penegakkan, dan pelanggaran disiplin organisasi
dan etika profesi guru.
(2) Peraturan tentang
Dewan Kehormatan Guru Indonesia adalah pedoman pokok dalam mengelola
Dewan Kehormatan Guru Indonesia, dalam hal penyelenggaraan tugas dan
wewenang bimbingan, pengawasan, dan penilaian Kode Etik Guru Indonesia.
(3) Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
(4) Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
(5) Penyelenggara
pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang
menyelenggarakan pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis
pendidikan.
(6) Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
(7) Kode
Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima
oleh guru sebagai pedoman sikap perilaku dalam melaksanakan tugas
profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara.
(8) Penanganan
dan pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia, adalah pedoman pokok dalam
penanganan pelanggaran bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya
terhadap etika guru yang telah ditetapkan.
BAB II
KEORGANISASIAN
Pasal 2
Keorganisasian DKGI
Keorganisasian
Dewan Kehormatan Guru Indonesia merupakan peraturan atau pedoman
pelaksanaan yang dijabarkan dari Anggaran Dasar (AD) PGRI BAB XVII pasal
30, dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PGRI BAB XXVI pasal 92 tentang
Majelis Kehormatan Organisasi dan Kode Etik profesi, dalam rangka
penegakan disiplin etik guru.
Pasal 3
Tata Cara Pembentukan
(1) Dewan Kehormatan Guru
Indonesia berada di tingkat pusat, tingkat provinsi, dan
kabupaten/kota, yang di bentuk oleh badan pimpinan organisasi PGRI yang
bersangkutan.
(2) Dewan Kehormatan Guru Indonesia tingkat pusat di sebut sebagai DKGI Pusat, pada tingkat Provinsi di sebut DGKI Provinsi, dan pada Kabupaten/kota di sebut DKGI Kabupaten/Kota.
(3) Pembentukan
DKGI hanya dibenarkan jika di daerah tersebut telah ada pengurus PGRI
tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota : yang masing-masing disebut
pengurus Provinsi dan Kabupaten/kota.
(4) pembentukan DKGI pusat dilakukan oleh Konfrensi pusat (Konpus) PGRI, sedangkan pembentukan di provinsi dan Kabupaten/kota, masing-masing melalui Konfrensi Kerja Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(5) Untuk kepentingan pertimbangan khusus dalam pengesahan organisasi DKGI dimaksud
dari pengurus besar PGRI sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 diatas,
pengurus PGRI Propinsi dan atau Kabupaten/kota harus mengirimkan
informasi tentang :
a. Data organisasi dan anggota secara lengkap dan menyeluruh.
b. Hal-hal lain yang berkaitan dengan urgensi pembentukan DKGI dimaksud.
Pasal 4
Status
(1) Status DKGI adalah perangkat kelengkapan organisasi PGRI, sehingga keputusannya merupakan keputusan pengurus PGRI.
(2) Status
DKGI Pusat maupun Provinsi dan atau Kabupaten/Kota dalam organisasi
PGRI adalah sebagai badan otonom, dalam pengertian bahwa segala
keputusannya yang diambil tidak bisa dipengaruhi pengurus PGRI atau
badan-badan yang lainnya.
(3) Untuk
menjamin kenetralan sikap dan keputusan yang akan ditetapkan maka
penyelenggaraan tugas dan wewenangnya harus dilakukan secara terpisah
dari pengelolaan berbagai perangkat kelengkapan organisasi PGRI lainnya.
(4) pengelolaan
tugas dan wewenang DKGI harus terpisah dari tugas dan wewenang Pengurus
Besar PGRI dan begitupun selanjutnya sampai ke Provinsi dan atau
Kabupaten/Kota.
Pasal 5
Kedudukan
(1) Kedudukan DKGI pusat berada di tempat kedudukan Pengurus Besar PGRI dan begitupun di tingkat Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(2) Wilayah kerja DKGI adalah wilayah kerja organisasi PGRI yang setingkat dengan tingkatan dari organisasi PGRI di maksud.
(3) Apabila
pengurus PGRI Provinsi belum terbentuk dan karena itu DKGI belum bisa
terbentuk maka tugas kerja daerah tersebut dijabat oleh pengurus daerah
PGRI terdekat, begitupun dengan PGRI Kabupaten/kota.
(4) Fungsi dan tugas DKGI di tingkat Cabang dan Ranting PGRI menjadi tanggung jawab Pengurus PGRI Kabupaten/kota.
(5) Pelimpahan
tugas sebagaimana disebut dalam ayat 3 di atas ditetapkan melaui Surat
Keputusan pengurus Besar PGRI khusus untuk PGRI Provinsi, dan dari
pengurus PGRI Provinsi untuk PGRI Kabupaten/kota.
Pasal 6
Susunan Pengurus
(1) Susunan
keanggotaan DKGI terdiri dari unsur Dewan Penasehat, Badan Pimpinan
Organisasi, Himpunan Profesi dan Keahlian Sejenis, dan yang lainnya
sesuai dengan keperluan.
(2) Susunan
pengurus DKGI sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua, seorang
wakil ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara, dan 5 anggota dengan
jumlah seluruhnya paling banyak 10 orang untuk pusat, dan
sebanyak-banyaknya 7 orang untuk daerah.
(3) Susunan
anggota DKGI terdiri dari unsur Dewan Pesehat, Badan Pimpinan
Organisasi, Himpunan Profesi dan keahlian Sejenis dan yang lainnya yang
terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda baik profesi maupun
pengalamannya misalnya pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan dan
lainnya.
(4) Jika
diperlukan maka Keanggotaan DKGI bisa saja ditambah sebanyak 3 orang
anggota tidak tetap, yang penunjukkannya atas dasar keperluan terhadap
keahlian tertentu sesuai dengan kasus atau permasalahan yang ditangani.
(5) Selama
menangani masalah, maka anggota DKGI tidak tetap sebagaimana ayat 4 di
atas pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota
tetap lainnya.
(6) Masa jabatan anggota DKGI tidak tetap segera berakhir apabila masalah yang ditangani sudah selesai berdasarkan berbagai sisi norma dan ketentuan yang ada.
Pasal 7
Tata Cara Penyusunan Pengurus dan Anggota
(1) Ketua
DKGI Pusat dipilih melalui Konfrensi Pusat PGRI, dan ketua di Provinsi
dan atau Kabupaten/Kota melalui Konferensi Kerja PGRI Provinsi dan atau
Kabupaten/kota.
(2) Ketua
DKGI terpilih selaku formatur tunggal dan atas dasar masukan dari
pengurus PGRI berkewajiban untuk segera menunjuk, mengangkat dan
menetapkan sekertaris, bendahara dan anggota secara lengkap.
(3) Sebelum
DKGI menjalankan fungsi dan tugasnya maka ketua DKGI memberitahukan
terlebih dahulu kepada pengurus PGRI tentang susunan pengurus secara
resmi dan lengkap.
(4) Penunjukkan,
pengangkatan dan pengesahan anggota DKGI tidak tetap dilakukan oleh
ketua DKGI atas musyawarah dengan pengurus dan konsultasi dengan
pengurus PGRI.
(5) Apabila
salah seorang anggota DKGI meninggal dunia atau mengundurkan diri atau
karena suatu hal diberhentikan sebagai anggota maka penggantiannya
dilakukan oleh ketua DKGI atas musyawarah seperti ayat tersebut di atas.
(6) Pemberhentian
terhadap anggota DKGI hanya dilakukan apabila yang bersangkutan dinilai
melanggar aturan yang ditentukan dan tidak lagi sesuai dengan
syarat-syarat sebagai pengurus atau anggota DKGI.
Pasal 8
Syarat-Syarat Pengurus dan Anggota
Syarat-syarat
yang wajib dipenuhi oleh seseorang untuk dapat dipilih, diangkat, atau
ditunjuk menjadi pengurus atau anggota DKGI adalah guru dan tenaga
kependidikan lainnya yang di yakini
(1) Beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Berjiwa nasionalisme yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
(3) Memiliki kepribadian yang dapat diterima dan disegani serta memiliki kredibilitas profesi kependidikan yang cukup tinggi.
(4) Loyalitas
yang tinggi terhadap organisasi PGRI, peka terhadap perkembangan
permasalahan yang muncul di lingkungan kependidikan dan maupun
kemasyarakatan.
(5) Menguasai masalah Kependidikan, guru dan tenaga kependidikan.
(6) Bersih, jujur, adil, sabar, terbuka dan berwibawa.
Pasal 9
Masa Jabatan Pengurus
(1) Masa jabatan kepengurusan DKGI sama dengan masa jabatan pengurus PGRI yaitu selama 5 tahun.
(2) Masa
jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat satu di atas segera berlaku
setelah adanya pengesahan secara keorganisasian dari Pengurus Besar
PGRI, dan pengesahan kepengurusan dari Pengurus PGRI yang ada pada
daerah tersebut.
Pasal 10
Tugas dan Wewenang
Sesuai dengan AD PGRI BAB XVII pasal 30 ayat 2, dan ART PGRI BAB XXVI pasal 92, maka tugas dan fungsi DKGI adalah :
(1) memberikan
saran, pendapat, dan pertimbangan tentang pelaksanaan, penegakan,
pelanggaran disiplin organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia Indonesia
kepada Badan Pimpinan organisasi yang membentuknya tentang:
a. pelaksanaan bimbingan, pengawasan, penilaian dalam pelaksanaan disiplin organisasi serta Kode Etik Guru Indonesia;
b. pelaksanaan, penegakan, dan pelanggaran disiplin organisasi yang terjadi di wilayah kewenangannya;
c. pelanggaran
Kode Etik Guru Indonesia yang dilakukan baik oleh pengurus maupun oleh
anggota serta saran dan pendapat tentang tindakan yang selayaknya
dijatuhkan terhadap pelanggaran kode etik tersebut;
d. pelaksanaan dan cara penegakan disiplin organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia; dan,
e. pembinaan hubungan dengan mitra organisasi di bidang penegakan serta pelanggaran disiplin organisasi serta Kode Etik Guru;
(2) pelaksanaan
tugas bimbingan, pembinaan, penegakan disipin, hubungan dan pelaksanaan
Kode Etik Guru Indonesia sebagaiamana ayat-ayat di atas dilakukan
bersama pengurus PGRI di segenap perangkat serta jajaran di semua
tingkatan;
(3) pelaksanaan
tugas penilaian dan pengawasan pelaksanaan kode etik profesi
sebagaimana ayat-ayat di atas dilakukan melalui masing-masing DKGI di
semua tingkatan organisasi.
Pasal 11
Pertanggung Jawaban
DKGI
Pusat bertanggung jawab kepada Pengurus Besar PGRI melalui Kongres dan
Konpus PGRI; DKGI PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota bertanggung
jawab kepada Pengurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota melalui
Konprov/Konkerprov dan Konkab/Konkot dan atau Konkerkab/Kot di Provinsi
dan atau di Kabupaten/kota.
Pasal 12
Ketentuan Persidangan
DKGI
pada waktu melaksanakan tugas dan fungsinya terutama tugas penilaian
dan pengawasan perlu menyelenggarakan persidangan-persidangan dengan
ketentuan sebagai berikut :
(1) pelaksanaan persidangan DKGI akan dianggap sah apabila dihadiri lebih dari satu per dua dari jumlah anggota;
(2) waktu
dan jumlah persidangan tergantung kebutuhan, dan hasil dari seluruh
persidangan akan menjadi laporan pertanggungjawaban satu tahun satu kali
dalam forum organisasi yang disebut Konpus, konkerprov dan atau
Konkerkab/kot PGRI, dan lima tahun sekali dalam forum Kongres dan atau
Konkab/kot PGRI;
(3) DKGI
dalam melaksanakan persidangan harus bersifat tertutup, kecuali apabila
dikehendaki lain, dan ditentukan seluruhnya oleh DKGI itu sendiri;
(4) ketua
DKGI menjadi pimpinan sidang, dan apabila berhalangan hadir maka
penggantinya adalah wakil ketua, dan apabila masih juga berhalangan maka
persidangan sementara ditunda;
(5) sekretarias
bertanggung jawab atas seluruh pencatatan dan pelaporan hasil sidang,
apabila sekretaris berhalangan bisa digantikan oleh anggota yang
ditunjuk pimpinan sidang yang disepakati anggota yang lainnya.
Pasal 13
Keputusan Persidanganan
(1) Keputusan
diambil atas dasar musyawarah dan mufakat; dan apabila tidak tercapai
maka pengambilan keputusan diambil atas dasar perhitungan suara
terbanyak.
(2) Perhitungan suara dilakukan secara bebas dan rahasia dari setiap anggota yang memiliki hak bicara atau hak suara.
(3) keputusan yang diambil harus diteruskan ke Pengurus PGRI yang setingkat untuk segera ditindaklanjuti seperlunya.
Pasal 14
Garis Hubungan Kerja
(1) Garis
hubungan kerja antara DKGI pusat dengan Provinsi dan atau
Kabupaten/kota adalah bersifat konsultatif, pelaporan maupun pelimpahan
wewenang penanganan masalah kasus pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia.
(2) Garis
hubungan kerja DKGI dengan pengurus PB PGRI dan atau Perngurus PGRI
Provinsi dan atau Kabupaten/kota didasarkan bahwa DKGI adalah
kelengkapan perangkat organisasi otonom yang dibanggakan.
(3) Keputusan
DKGI harus mejadi keputusan Pengurus PGRI, dan Pengurus PGRI harus
melaksanakan keputusan DKGI yang setingkat dengan pengurus PGRI.
(4) Apabila
DKGI mengadakan garis hubungan kerja dengan pengurus PGRI yang lebih
tinggi tingkatannya maka harus melalui pengurus PGRI yang setingkat
dengan DKGI tersebut.
Pasal 15
Adminstrasi dan Pendanaan
(1) Administrasi DKGI dikelola oleh sekretaris, dan tatalaksana perkantoran berpedoman/mengikuti dan ditunjang oleh pengurus PGRI.
(2) Pengelola sekretariat DKGI harus bertanggung jawab atas jaminan kerahasiaan seluruh berkas-berkas persidangan dan yang lainnya.
(3) Pendanaan yang dibutuhkan untuk kelancaran dalam menjalankan fungsi dan tugas DKGI menjadi tanggung jawab pengurus PGRI.
BAB III
PEMBINAAN DAN PEMASYARAKATAN
PEMBINAAN DAN PEMASYARAKATAN
Pasal 16
T u j u a n
Meningkatkan
mutu pengabdian profesi guru dan dan tenaga kependidikan lainnya dalam
mempercepat tercapainya tujuan pembangunan nasional, khususnya program
pembangunan pendidikan, dengan jalan :
(1) meningkatkan
pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia terhadap seluruh guru dan
tenaga kependidikan lainnya serta masyarakat secara umum;
(2) meningkatkan
perilaku guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan etika guru demi terciptanya proses
pengabdian profesi kependidikan yang lebih baik;
(3) menciptakan
suasana masyarakat yang lebih kondusif, sehingga akan lebih
menguntungkan dalam proses pengabdian dan penerapan etika guru.
Pasal 17
Sasaran yang Ingin dicapai
Sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam pasal 17 di atas, maka
sasaran dari pembinaan dan pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia
adalah sebagai berikut :
(1) guru dan tenaga kependidikan lainnya dapat menjalankan pengabdian khususnya di bidang pendidikan dengan baik;
(2) terjadinya pemahaman tentang etika guru bagi calon guru dan tenaga kependidikan lainnya yang berada di lembaga kependidikan;
(3) tumbuhnya
pengakuan dari pemerintah dan masyarakat secara luas akan pengabdian
profesi kependidikan dan Kode Etik Guru Indonesia.
Pasal 18
Jenis Kegiatan
(1) Menganjurkan
kepada pemerintah dan swasta penyelenggra pendidikan untuk memasukan
materi Kode Etik Guru Indonesia khususnya di lembaga kependidikan.
(2) Menyelenggarakan
berbagai pertemuan profesional secara individual kelompok maupun
klasikal dalam membahas dan mengkaji berbagai aspek Etika Guru.
(3) Menyebarluaskan
informasi secara tertulis melalui majalah suara guru dan yang lainnya
tentang Kode Etik Guru Indonesia terhadap calon guru dan guru serta
tenaga kependidikan lainnya.
(4) Menyelenggarakan
berbagai kegiatan lainnya yang dinilai tidak mengikat dan dapat
mencapai pemasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia baik di
lingkungan kependidikan maupun di pemerintahan dan masyarakat.
Pasal 19
Materi Pemasyarakatan dan Pembinaan
(1) Kode Etik Guru Indonesia.
(2) Lapal pengucapan janji dan sumpah guru dan tenaga kependidikan lainnya.
(3) Hukum, aturan dan ketentuan yang ada kaitannya dengan kependidikan.
(4) Status guru.
(5) Materi-materi lain yang dapat dinilai menunjang terhadap tercapainya permasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia.
Pasal 20
Pelaksanaan Kegiatan
(1) Kegiatan
pemasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia dilaksanakan oleh
Dewan Kehormatan Guru, dengan jalan bahwa pengurus pusat bertanggung
jawab untuk menetapkan garis-garis besar pemasyarakatan dan pembinaan
(GBPP) untuk dijabarkan dan dikoordinasikan pelaksanaannya di daerah.
(2) Dalam
melaksanakan pemasyarakatan dan pembinaan seperti ayat satu di atas,
maka Dewan Kehormatan Guru dapat bekerja sama dengan pengurus PGRI,
mitra pendidikan, dan instansi pemerintah dan kemasyarakatan lainnya,
yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Pengurus PGRI.
BAB IV
PENANGANAN PELANGGARAN KODE ETIK GURU INDONESIA
Pasal 21
T u j u a n
(1) Memecahkan
berbagai masalah pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia baik
berasal dari komponen pemerintah, masyarakat, atau guru dan tenaga kependidikan lainnya.
(2) Menegakkan
kebenaran dan keadilan bagi seluruh guru dan tenaga kependidikan
lainnya sebagai pelaksana pengabdian profesi guru dan tenaga
kependidikan lainnya; serta bagi seluruh komponen masyarakat sebagai
pemakai jasa pelayanan kependidikan.
Pasal 22
Sasaran yang ingin dicapai
(1) Menangani
berbagai perilaku yang menyimpang dari Kode Etik Guru Indonesia yang
dilakukan oleh guru dan tenaga kependidikan lainnya sewaktu melaksanakan
pengabdian profesi kependidikan.
(2) Penanganan penyimpangan seperti dimaksud dalam ayat satu di atas baru dapat dilakukan
apabila terjadi pengaduan, ada permintaan dari Pengurus PGRI dan atau
DKGI menduga terjadi adanya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru
Indonesia.
Pasal 23
Proses Pengaduan
(1) Para
pihak yang menemukan terjadinya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru
Indonesia dapat mengajukan melalui surat pengaduan kepada DKGI tempat
terjadinya masalah tersebut.
(2) Apabila
di daerah kejadian tersebut belum ada DKGI Kab/Kot maka surat pengaduan
diajuakan ke DKGI Provinsi, dan apabila juga belum ada, maka bisa
diajuka ke DKGI pusat.
(3) Surat
pengajuan pengaduan dianggap sah apabila diajukan secara tertulis dan
dilengkapi dengan berbagai identitas pengaduan yang diajukan dan
bukti-bukti yang memperkuat dan menunjang terhadap pengaduan yang
diajukan tersebut.
(4) Surat
pengajuan pengaduan dianggap tidak sah apabila diajukan tidak
dilengkapi/disertai dengan bukti-bukti yang cukup, dan identitas yang
selayaknya dijelaskan, serta waktu kejadian tersebut sudah melewati
waktu dua setengah tahun atau lebih.
(5) Apabila
surat pengaduan pertama kali bukan diterima oleh pengurus DKGI Provinsi
dan atau Kabupaten/kota, maka paling lambat dua minggu setelah
diterimanya surat pengaduan tersebut harus segera diteruskan kepada DKGI
Kabupaten/kota dimana terjadinya kejadian tersebut diajukan.
(6) Apabila
DKGI dimana terjadinya kejadian pengajuan belum terbentuk, maka surat
pengaduan sebagaimana ayat 5 di atas harus diteruskan kepada DKGI PGRI
Provinsi, begitupun bagi DKGI PGRI Provinsi yang belum terbentuk, maka
pengajuannya harus diteruskan kepada DKGI pusat.
Pasal 24
Pengkajian
(1) Setiap
pengajuan yang diajukan karena pelanggaran terhadap Kode Etik Guru
Indonesia harus dikaji terlebih dahulu secara berhati-hati dan seksama
dengan prinsip penanganan berdasarkan asas praduga tak bersalah.
(2) Kegiatan
pengkajian sebagaimana ayat satu di atas untuk tahap pertama menjadi
tugas dan wewenang pengurus DKGI PGRI Kabupaten/kota dengan
langkah-langkah kegiatan sebagai berikut :
a. mempelajari identitas pengaduan yang diajukan;
b. mempelajari berkas-berkas sebagai bukti tertulis yang diajukan;
c. mengambil kesimpulan sementara absah dan tidaknya surat pengaduan tersebut;
d. Mempelajari masalah lebih dalam dan luas lagi, dengan cara :
1) mengundang
pengadu dan yang diadukan secara terpisah untuk sama-sama melengkapi
dan memberi penjelasan tentang duduk permasalahan sebenarnya;
2) mengundang
saksi dari para pihak secara terpisah apabila ada dan diajukan untuk
sama-sama meminta informasi dalam memperjelas masalah yang diajukan;
3) melakukan
kunjungan ke tempat terjadinya kejadian untuk memperoleh keterangan
yang lebih jelas dan akurat, ataupun hubungannya dengan benda-benda atau
barang-barang bukti yang sifatnya tidak bisa dipindahkan; dan
4) apabila
diperlukan maka diperbolehkan mengundang pihak-pihak tertentu yang
sesuai dengan masalah yang diajukan untuk dijadikan saksi ahli;
e. melakukan sidang DKGI secara lengkap untuk bermusyawarah dalam menentukan persiapan sidang–sidang selanjutnya.
Pasal 25
Barang Bukti
(1) Pada
waktu pemanggilan saksi dan kunjungan-kunjungan ke tempat kejadian,
maka pada waktu itu pula dapat dimintakan untuk memperlihatkan berbagai
barang bukti, dan jika diperlukan diminta persetujuan untuk membuat rekaman suara dan atau gambar.
(2) Apabila
pengadu dan teradu serta saksi menolak memperlihatkan barang bukti dan
pengambilan suara dan gambar sebagaimana ayat 1 (satu) di atas, maka hal
ini dapat dicatat untuk dijadikan bahan pertimbangan pada waktu
pengambilan keputusan.
(3) DKGI
tidak berwenang melakukan penyitaan terhadap barang-barang bukti yang
diajukan melainkan bisa melalui pihak–pihak yang berwenang sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Kegiatan Pembelaan
(1) Pada waktu proses pengkajian dan sidang-sidang maka pihak teradu memiliki hak untuk didampingi oleh pembela.
(2) Yang dimaksud pembela adalah Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) PGRI.
(3) Hak yang dimiliki tersebut harus terlebih dahulu dikemukakan jauh sebelum sidang dimulai.
(4) mengingat
sifat kejadian yang ditangani menyangkut etika guru sangat khusus dan
lebih pelik, maka dibenarkan dan berhak untuk didampingi pembela dari
luar dapat dipertimbangkan, apabila yang dimintakan teradu adalah
pembela berasal dari luar LKBH PGRI.
Pasal 27
Penunjukan Saksi Ahli
(1) Apabila
dalam penanganan kejadian pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia dimaksud
diperlukan adanya saksi ahli, maka dapat dimintai kehadirannya dalam
setiap sidang dalam forum DKGI.
(2) Penunjuk saksi ahli menjadi wewenang sepenuhnya dari DKGI.
(3) Saksi
ahli tahap pertama harus diambil dari lingkungan organisasi PGRI
beserta seluruh kelengkapan perangkat organisasi, namun apabila tidak
ada maka dapat diminta di luar organisasi PGRI.
Pasal 28
Kegiatan Persidangan
(1) Tata
cara persidangan DKGI di daerah harus sesuai dengan tata cara yang
ditentukan DKGI pusat; (tata cara ini akan diminta penjelasan dari ketua
LKBH PB PGRI).
(2) Apabila
teradu menginginkan bantuan dan memanfaatkan jasa dari LKBH PGRI maka
LKBH PGRI tersebut harus memberitahukan kepada LKBH PGRI Propvinsi dan
LKBH PGRI Pusat.
(3) Apabila
pengkajian telah selesai dilakukan maka sebelum diambil keputusan
hendaknya LKBH PGRI diberikan kesempatan mengemukakan pendapatnya
tentang kejadian yang sedang di kaji.
Pasal 29
Pengambilan Keputusan
(1) Tata
cara pengambilan keputusan dalam sidang-sidang DKGI Provinsi dan atau
Kabupaten/Kota harus sesuai dengan yang ditentukan DKGI pusat;
(ketentuan hal ini akan minta penjelasan dari ketua LKBH PB PGRI).
(2) Keputusan
yang diambil oleh DKGI dalam penanganan pelanggaran Kode Etik Guru
Indonesia harus menyatakan dengan jelas bersalah atau tidak bersalah
bagi teradu.
(3) keputusan sebagaimana ayat dua di atas harus dibedakan antara kesalahan ringan, sedang, dan berat.
(4) Penetapan kategori kesalahan hendaknya didasarkan kepada kriteria sebagai berikut :
a. akibat yang ditimbulkan terhadap kehormatan profesi; keselamatan guru dan tenaga kependidikan lainnya;
b. itikad
yang ditunjukan cukup baik pihak teradu dalam membantu menyelesaikan
persoalan dimaksud; serta dorongan yang mendasari tumbuhnya kejadian
yang bisa dipertimbangkan;
c. kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi tumbuhnya kejadian; serta pendapat dan pandangan LKBH PGRI;
(5) Apabila
kejadian yang dimaksud menyangkut pelanggaran hukum dan masalah
tersebut sedang dalam proses hukum, maka hendaknya keputusan DKGI
ditunda sampai dengan keputusan hukum tersebut.
(6) DKGI harus mampu mencegah tumbuhnya proses hukum di pengadilan dengan upaya persidangan di DKGI tersebut.
Pasal 30
Pemberian Sanksi
(1) DKGI
merekomendasikan pemberian sanksi kepada badan pimpinan organisasi PGRI
yang setingkat dengan DKGI dan diteruskan kepada PB PGRI untuk
disampaikan kepada instansi pemerintah dan penyelenggara pendidikan yang
terkait.
(2) Dalam
hal sanksi yang langsung berhubungan dengan keanggotaan pada PGRI, maka
PB PGRI dapat mencabut keanggotaan guru atau tenaga kependidikan
tersebut bila DKGI memutuskan demikian.
(3) Sanksi yang diberikan akan tergantung kepada berat dan ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pihak tertentu.
(4) Sanksi
yang diberikan bisa berupa : (1) teguran; (2) peringatan tertulis; (3)
penundaan pemberian hak; (4) penurunan pangkat; dan (5) pemberhentian
dengan hormat; atau (6) pemberhentian tidak dengan hormat.
(5) Kalau
keputusan oleh Instansi terkait berupa pemberhentian dengan hormat atau
tidak hormat maksudnya adalah dalam waktu sementara melalui waktu yang
telah ditentukan, dan pada masa ini diadakannya pembinaan dari pihak
DKGI.
(6) Apabila
selama waktu pemberhentain sementara, tidak terjadi
perbaikan-perbaikan, maka akan ditetapkan pemecatan dan pemberhentian
dari anggota/pengurus PGRI, yang diikuti dengan penyampaian rekomendasi
kepada Instansi Departemen Pendidikan Nasional untuk diadakan tindakan
seperlunya.
(7) Keputusan tentang pemecatan dan pemberhentian tetap dikirimkan kepada pengurus PGRI/DKGI PGRI Provinsi maupun PB PGRI.
Pasal 31
Banding
(1) Apabila
kedua belah pihak antara pengadu dan teradu merasa tidak puas atas
keputusan yang telah ditetapkan DKGI, maka keduanya bisa menyatakan
untuk mengajukan naik banding.
(2) Naik
banding sebagaimana ayat satu di atas merupakan tahap awal yang harus
ditujukan kepada DKGI PGRI Provinsi, begitu pula selanjutnya bisa naik
banding tahap yang kedua yang ditujukan ke tingkat DKGI Pusat.
(3) Tata
cara pengakajian dan pengambilan keputusan pada pelaksanaan
sidang-sidang pada dasarnya sama antara DKGI PGRI Provinsi dan atau
Kabupaten/kota dengan di pusat.
(4) keputusan
yang diambil DKGI Pusat pada dasarnya merupakan keputusan final dan
mengikat yang tidak bisa diganggu gugat, kecuali datangnya keputusan
lain melalui Kongres PGRI.
Pasal 32
Perbaikan dan Pemulihan
(1) Perbaikan
dan pemulihan akan dilakukan apabila ternyata penerima sanksi
dinyatakan tidak bersalah; atau telah menjalani sanksinya sesuai
keputusan DKGI.
(2) Bagi
pihak penerima sanksi sebagaimana ayat 1 (satu) di atas akan segera
dikeluarkan perbaikan dan pemulihan yang disertai permintaan maaf kepada
penerima sanksi tersebut.
(3) Surat
perbaikan dan pemulihan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas
disampaikan kepada penerima sanksi, instansi tempat bekerja, serta
kepada masyarakat secara umum.
(4) Penerbitan
surat keputusan perbaikan dan pemulihan dilakukan oleh Pengurus PGRI
dimana masalah tersebut ditangani dengan tembusan kepada pengurus PGRI
yang lebih tinggi dan yang dibawahnya termasuk pula kepada DKGI yang
bersangkutan.
Pasal 33
Administrasi
(1) Setiap surat pengaduan dan identitas pengadu diperlakukan sebagai surat rahasia dan jika dianggap perlu untuk dirahasiakan.
(2) Pemanggilan terhadap pengadu, teradu, dan saksi harus dilakukan secara tertulis dan paling banyak 3 kali pemanggilan.
(3) Apabila
pemanggilan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas ada yang tidak datang
dan tanpa alasan yang sah, maka penanganan masalah tersebut harus
dilanjutkan tanpa kehadirannya.
(4) Dalam
hal minta keterangan terhadap pengadu, teradu, dan saksi oleh DKGI
tidak diawali dengan pengambilan sumpah, akan tetapi hanya dengan surat
pernyataan.
(5) Surat
dimaksudkan secara tertulis yang dibuat dan ditandatangani di atas
materai yang cukup di depan DKGI yang berisi bahwa keterangan yang akan
diberikan adalah benar.
(6) Apabila
pihak-pihak tersebut sebagaimana ayat 4 (empat) di atas tidak bersedia
atau menolak membuat atau menandatangani surat dimaksud, maka akan
menjadi catatan khusus sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan
keputusan.
(7) Semua
keterangan, barang bukti dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan
sidang-sidang DKGI harus dibukukan dan didokumentasikan secara lengkap
dan sempurna serta menjadi milik PGRI. Data-data tersebut sangat tidak
dibenarkan untuk diketahui oleh pihak ketiga atau pihak lain, kecuali
dinyatakan lain oleh ketentuan perundang-undangan dan diminta oleh
Negara.
BAB V
PENUTUP
Pasal 34
Penutup
Hal-hal lain yang belum diatur dalam ketentuan ini akan diatur tersendiri oleh DKGI.
Sistem pendidikan Indonesia
menempati peringkat terendah di dunia. Berdasarkan tabel liga global
yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan
Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Tempat
pertama dan kedua diraih oleh Finlandia dan Korea Selatan, sementara
Inggris menempati posisi keenam.
Peringkat itu memadukan hasil tes internasional dan data seperti tingkat kelulusan antara 2006 dan 2010. Sir Michael Barber, penasihat pendidikan utama Pearson, mengatakan peringkat disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru dan memiliki "budaya" pendidikan.
Perbandingan internasional dalam dunia pendidikan telah menjadi semakin penting dan tabel liga terbaru ini berdasarkan pada serangkaian hasil tes global yang dikombinasikan dengan ukuran sistem pendidikan seperti jumlah orang yang dapat mengenyam pendidikan tingkat universitas.
Gambaran perpaduan itu meletakkan Inggris dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan tes Pisa dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang juga merupakan salah satu tes dalam proses penyusunan peringkat. Pertimbangan-pertimbangan dalam peringkat ini diproduksi untuk Pearson oleh Economist Intelligence Unit.
Kompetisi global
Dua kekuatan utama pendidikan adalah Finlandia dan Korea Selatan, lalu diikuti oleh tiga negara di Asia, yaitu Hong Kong, Jepang dan Singapura.
Inggris yang dianggap sebagai sistem tunggal juga dinilai sebagai "di atas rata-rata" lebih baik dari Belanda, Selandia Baru, Kanada dan Irlandia. Keempat negara itu juga berada di atas kelompok peringkat menengah termasuk Amerika Serikat, Jerman dan Prancis.
Perbandingan ini diambil berdasarkan tes yang dilakukan setiap tiga atau empat tahun di berbagai bidang termasuk matematika, sains dan kesusasteraan serta memberikan sebuah gambaran yang semakin menurun dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi tujuan utamanya adalah memberikan pandangan multidimensi dari pencapaian di dunia pendidikan dan menciptakan sebuah bank data yang akan diperbaharui dalam sebuah proyek Pearson bernama Learning Curve.
Melihat dari sistem pendidikan yang berhasil, studi itu menyimpulkan bahwa mengeluarkan biaya adalah hal penting namun tidak sepenting memiliki budaya yang mendukung pendidikan. Studi itu mengatakan biaya adalah ukuran yang mudah tetapi yang lebih kompleks dampak yang lebih kompleks adalah perilaku masyarakat terhadap pendidikan, hal itu dapat membuat perbedaan besar.
Kesuksesan negara-negara Asia dalam peringkat ini merefleksikan nilai tinggi pendidikan dan pengharapan orang tua. Hal ini dapat menjadi faktor utama ketika keluarga bermigrasi ke negara lain, kata Pearson.
Ada banyak perbedaan di antara kedua negara teratas yaitu Finlandia dan Korea Selatan, menurut laporan itu, tetapi faktor yang sama adalah keyakinan terhadap kepercayaan sosial atas pentingnya pendidikan dan "tujuan moral."
Kualitas guru
Laporan itu juga menekankan pentingnya guru berkualitas tinggi dan perlunya mencari cara untuk merekrut staf terbaik. Hal ini meliputi status dan rasa hormat serta besaran gaji.
Peringkat itu menunjukkan bahwa tidak ada rantai penghubung jelas antara gaji tinggi dan performa yang lebih baik. Dan ada pula konsekwensi ekonomi langsung atas sistem pendidikan performa tinggi atau rendah, kata studi itu, terutama di ekonomi berbasis keterampilan dan global. Tetapi tidak ada keterangan jelas mengenai pengaruh manajemen sekolah dengan peringkat pendidikan.
Peringkat untuk tingkat sekolah menunjukkan bahwa Finlandia dan Korea Selatan memiliki pilihan tingkat sekolah terendah. Namun Singapura yang merupakan negara dengan performa tinggi memiliki tingkat tertinggi.
Peringkat itu memadukan hasil tes internasional dan data seperti tingkat kelulusan antara 2006 dan 2010. Sir Michael Barber, penasihat pendidikan utama Pearson, mengatakan peringkat disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru dan memiliki "budaya" pendidikan.
Perbandingan internasional dalam dunia pendidikan telah menjadi semakin penting dan tabel liga terbaru ini berdasarkan pada serangkaian hasil tes global yang dikombinasikan dengan ukuran sistem pendidikan seperti jumlah orang yang dapat mengenyam pendidikan tingkat universitas.
Gambaran perpaduan itu meletakkan Inggris dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan tes Pisa dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang juga merupakan salah satu tes dalam proses penyusunan peringkat. Pertimbangan-pertimbangan dalam peringkat ini diproduksi untuk Pearson oleh Economist Intelligence Unit.
Kompetisi global
Dua kekuatan utama pendidikan adalah Finlandia dan Korea Selatan, lalu diikuti oleh tiga negara di Asia, yaitu Hong Kong, Jepang dan Singapura.
Inggris yang dianggap sebagai sistem tunggal juga dinilai sebagai "di atas rata-rata" lebih baik dari Belanda, Selandia Baru, Kanada dan Irlandia. Keempat negara itu juga berada di atas kelompok peringkat menengah termasuk Amerika Serikat, Jerman dan Prancis.
Perbandingan ini diambil berdasarkan tes yang dilakukan setiap tiga atau empat tahun di berbagai bidang termasuk matematika, sains dan kesusasteraan serta memberikan sebuah gambaran yang semakin menurun dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi tujuan utamanya adalah memberikan pandangan multidimensi dari pencapaian di dunia pendidikan dan menciptakan sebuah bank data yang akan diperbaharui dalam sebuah proyek Pearson bernama Learning Curve.
Melihat dari sistem pendidikan yang berhasil, studi itu menyimpulkan bahwa mengeluarkan biaya adalah hal penting namun tidak sepenting memiliki budaya yang mendukung pendidikan. Studi itu mengatakan biaya adalah ukuran yang mudah tetapi yang lebih kompleks dampak yang lebih kompleks adalah perilaku masyarakat terhadap pendidikan, hal itu dapat membuat perbedaan besar.
Kesuksesan negara-negara Asia dalam peringkat ini merefleksikan nilai tinggi pendidikan dan pengharapan orang tua. Hal ini dapat menjadi faktor utama ketika keluarga bermigrasi ke negara lain, kata Pearson.
Ada banyak perbedaan di antara kedua negara teratas yaitu Finlandia dan Korea Selatan, menurut laporan itu, tetapi faktor yang sama adalah keyakinan terhadap kepercayaan sosial atas pentingnya pendidikan dan "tujuan moral."
Kualitas guru
Laporan itu juga menekankan pentingnya guru berkualitas tinggi dan perlunya mencari cara untuk merekrut staf terbaik. Hal ini meliputi status dan rasa hormat serta besaran gaji.
Peringkat itu menunjukkan bahwa tidak ada rantai penghubung jelas antara gaji tinggi dan performa yang lebih baik. Dan ada pula konsekwensi ekonomi langsung atas sistem pendidikan performa tinggi atau rendah, kata studi itu, terutama di ekonomi berbasis keterampilan dan global. Tetapi tidak ada keterangan jelas mengenai pengaruh manajemen sekolah dengan peringkat pendidikan.
Peringkat untuk tingkat sekolah menunjukkan bahwa Finlandia dan Korea Selatan memiliki pilihan tingkat sekolah terendah. Namun Singapura yang merupakan negara dengan performa tinggi memiliki tingkat tertinggi.
Selasa, 09 April 2013
Perundangan
Dasar Hukum
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam BAB XVI tentang Evaluasi, Akreditasi dan Sertifikasi disebutkan:
1.
Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan
pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap
jenjang dan jenis pendidikan.
2. Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
3. Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
4. Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
1. Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
2. Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
3. Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
4. Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, yang kemudian dipebaharui dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi pada BAB XIV mengenai Pengawasan dan Akreditasi, Pasal 128 disebutkan:
1. Menteri menetapkan tatacara pengawasan mutu dan efisiensi semua perguruan tinggi.
2. Mutu sebagaiana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterkaitan antara tujuan, masukan, proses, dan keluaran, yang merupakan tanggungjawab institusional perguruan tinggi masing-masing.
3. Penilaian utu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh badan akreditasi yang mandiri.
4. Menteri menetapkan langkah-langkah pembinaan terhadap perguruan tinggi berdasarkan hasil pengawasan mutu dan efisiensi.
5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur oleh Menteri.
Bentuk dan Struktur Lembaga
BAN-PT merupakan lembaga non-struktural di bawah Menteri Pendidikan Nasional, yang ditetapkan melalui Keputusan Mendiknas nomor 187/U/1998, dan nomor 118/U/2003, dengan keanggotaan yang diangkat berdasarkan Keputusan Mendiknas nomor 119/P/2003 dan terakhir digantikan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi dan juga Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.6 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
Pembentukan BAN-PT pada hakekatnya melambangkan niat dan kepedulian pemerintah dalam pembinaan penyelenggaraan perguruan tinggi, melayani kepentingan masyarakat, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam BAB XVI tentang Evaluasi, Akreditasi dan Sertifikasi disebutkan:
Pasal 60
2. Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
3. Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
4. Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 61
2. Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
3. Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
4. Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, yang kemudian dipebaharui dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi pada BAB XIV mengenai Pengawasan dan Akreditasi, Pasal 128 disebutkan:
1. Menteri menetapkan tatacara pengawasan mutu dan efisiensi semua perguruan tinggi.
2. Mutu sebagaiana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterkaitan antara tujuan, masukan, proses, dan keluaran, yang merupakan tanggungjawab institusional perguruan tinggi masing-masing.
3. Penilaian utu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh badan akreditasi yang mandiri.
4. Menteri menetapkan langkah-langkah pembinaan terhadap perguruan tinggi berdasarkan hasil pengawasan mutu dan efisiensi.
5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur oleh Menteri.
Bentuk dan Struktur Lembaga
BAN-PT merupakan lembaga non-struktural di bawah Menteri Pendidikan Nasional, yang ditetapkan melalui Keputusan Mendiknas nomor 187/U/1998, dan nomor 118/U/2003, dengan keanggotaan yang diangkat berdasarkan Keputusan Mendiknas nomor 119/P/2003 dan terakhir digantikan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi dan juga Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.6 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
Pembentukan BAN-PT pada hakekatnya melambangkan niat dan kepedulian pemerintah dalam pembinaan penyelenggaraan perguruan tinggi, melayani kepentingan masyarakat, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Proses Akreditasi
Proses akreditasi program studi dimulai dengan pelaksanaan evaluasi
diri di program studi yang bersangkutan. Evaluasi diri tersebut mengacu
pada pedoman evaluasi diri yang telah diterbitkan BAN-PT, namun, jika
dianggap perlu, pihak pengelola program studi dapat menambahkan
unsur-unsur yang akan dievaluasi sesuai dengan kepentingan program studi
maupun institusi perguruan inggi yang bersangkutan. Dari hasil
pelaksanaan evaluasi diri tersebut, dibuat sebuah rangkuman eksekutif
(executive summary), yang selanjutnya rangkuman eksekutif tersebut
dilampirkan dalam surat permohonan untuk diakreditasi yang dikirimkan ke
sekertariat BAN-PT.
Sekertariat BAN-PT akan mengkaji ringkasan eksekutif dari program sudi tersbut, dan jika telah memenuhi semua kompoen yang diminta dalam pedoman evaluasi diri sekertariat BAN-PT akan mengirimkan instrumen akreditasi yang sesuai dengan tingkat program studi setelah instrumen akreditasi diisi, program studi mengirimkan seluruh berkas (intrumen akreditasi yang telah diisi dan lampirannya, beserta copy-nya) ke sekertariat BAN-PT. Jumlah copy yang harus disertakan untuk program studi tingkat Diploma dan Sarjana sebanyak 3 copy, sedangkan untuk program studi tingkat Magister dan Doktor sebanyak 4 copy. Penilaian dilakukan setelah seluruh berkas diterima secara lengkap oleh sekertariat BAN-PT. Proses akreditasi program studi dapat diilustrasikan seperti gambar dibawah ini.
Sekertariat BAN-PT akan mengkaji ringkasan eksekutif dari program sudi tersbut, dan jika telah memenuhi semua kompoen yang diminta dalam pedoman evaluasi diri sekertariat BAN-PT akan mengirimkan instrumen akreditasi yang sesuai dengan tingkat program studi setelah instrumen akreditasi diisi, program studi mengirimkan seluruh berkas (intrumen akreditasi yang telah diisi dan lampirannya, beserta copy-nya) ke sekertariat BAN-PT. Jumlah copy yang harus disertakan untuk program studi tingkat Diploma dan Sarjana sebanyak 3 copy, sedangkan untuk program studi tingkat Magister dan Doktor sebanyak 4 copy. Penilaian dilakukan setelah seluruh berkas diterima secara lengkap oleh sekertariat BAN-PT. Proses akreditasi program studi dapat diilustrasikan seperti gambar dibawah ini.
Kewajiban Akreditasi terdapat di :
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 61
1. Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
2. Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional (Pasal 86, 87 dan 88)
Pasal 86
(1) Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan.
>>>
Masa Laku SK Akreditasi dan Biaya Pengurusan:
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 28 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tingg
Pasal 10
(1) Pelaksanaan akreditasi pada program dan/atau satuan pendidikan tinggi dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.
(2) Pelaksanaan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan kurang dari 5 (lima) tahun apabila perguruan tinggi yang bersangkutan mengajukan permohonan untuk diakreditasi ulang.
Pasal 11
Biaya pelaksanaan akreditasi program studi dan/atau satuan pendidikan tinggi yang dilaksanakan oleh BAN-PT ditanggung oleh Pemerintah.
>>>
Persyaratan pengajuan usulan proses akreditasi adalah:
1. Memiliki ijin pembukaan program studi
2. Memiliki ijin operasional program studi yang masih berlaku
3. Membuat surat pernyataan yang ditandatangani pimpinan perguruan tinggi
4. Menandatangani kode etik yang diterbitkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (Sudah disediakan di loket penerimaan borang)
file informasi, klik disini
>>>
Berkas yang harus diserahkan harus memenuhi persyaratan, informasi klik disini
>>>
Warna cover instrumen dan dokumen akreditasi sebagai berikut, untuk:
File informasi, klik disini
>>>
Borang dan Istrumen Terbaru
>>>
Kriteria Penilaian Instrumen Akreditasi Program Studi
Penilaian instrumen akreditasi program studi ditujukan pada tingkat komitmen terhadap kapasitas dan efektivitas program studi yang dijabarkan menjadi 7 standar akreditasi.
1. Visi, misi, tujuan dan sasaran, serta strategi pencapaiannya
2. Tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan dan penjaminan mutu
3. Mahasiswa dan lulusan
4. Sumber daya manusia
5. Kurikulum, pembelajaran, dan suasana akademik
6. Pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sistem informasi
7. Penelitian, pelayanan/pengabdian kepada masyarakat dan kerjasama
>>>
Ketujuh Standar ini dituangkan dalam 3 Berkas Penilaian yang terdiri dari:
1. Laporan evaluasi-diri program studi
2. Borang akreditasi program studi
3. Borang akreditasi unit pengelola program studi
>>>
Eleman Penilaian
Masing-masing berkas mencantumkan sejumlah elemen penilaian yang kemudian diuraikan dalam sejumlah deskriptor. Misalnya untuk program Sarjana terdiri dari 53 elemen penilaian yang terbagi 155 deskriptor ( 100 diisi prodi, 44 diisi unit pengelola dan 11 merupakan evaluasi-diri). Perincian bobot untuk masing-masing bisa baca di lampiran buku 4-Panduan Pengisian Borang. Penjelasan Deskriptor terdapat di buku 6-Matriks Penilaian Borang .
>>>
Dimensi Mutu
Adapun pertanyaan yang dituangkan dalam borang akreditasi disusun berdasarkan sebelas dimensi mutu yang menunjukkan mutu suatu program studi. Kesebelas dimensi mutu tersebut adalah:
1. relevansi (relevancy),
2. suasana akademik (academic atmosphere),
3. kepemimpinan (leadership),
4. kelayakan (appropriateness),
5. kecukupan (adequacy),
6. keberlanjutan (sustainability),
7. selektivitas (selectivity),
8. pemerataan (equity)
9. efektivitas (effectiveness),
10. produktivitas (productivity), dan
11. efisiensi (efficiency).
>>>
Cara Penilaian
Setiap standar dan atau elemen dalam instrumen akreditasi dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan quality grade descriptor sebagai berikut: Sangat Baik, Baik, Cukup, dan Kurang.
Untuk menetapkan peringkat akreditasi, hasil penilaian kualitatif tersebut dikuantifikasikan sebagai berikut.
Skor 4 (Sangat Baik), jika semua kinerja mutu setiap standar atau elemen yang diukur sangat baik.
Skor 3 (Baik), jika semua kinerja mutu setiap standar atau elemen yang diukur baik dan tidak ada kekurangan yang berarti.
Skor 2 (Cukup), jika semua kinerja mutu setiap standar atau elemen yang diukur cukup, namun tidak ada yang menonjol;
Skor 1 (Kurang), jika semua kinerja mutu setiap standar atau elemen yang diukur kurang.
Skor 0 (Sangat Kurang), jika semua kinerja mutu setiap standar atau elemen yang diukur sangat kurang atau tidak ada.
Penjelasan lebih rinci dan lengkap tentang cara penilaian bisa baca buku VI-Matriks Peniaian Borang
>>>
Pentahapan dan Prosedur Penilaian Instrumen Akreditasi Program Studi Sarjana
Sebelum dinilai, dokumen akreditasi program studi diverifikasi pemenuhan persyaratan awal oleh tim khusus BAN-PT. Setelah terbukti memenuhi persyaratan awal, dokumen akreditasi dinilai melalui delapan tahap. Tahap 1 s.d. tahap 5 dilakukan oleh Tim Asesor, sedangkan tahap 6 s.d. tahap 8 dilakukan oleh BAN-PT. Kedelapan tahap tersebut adalah sebagai berikut.
Proses Akreditasi
1. Asesmen kecukupan, yang sebelumnya dikenal dengan istilah desk evaluation, berupa:
–Tahap 1. Penilaian secara kualitatif dan kuantitatif oleh masing-masing anggota Tim Asesor.
2. Asesmen lapangan, yang sebelumnya dikenal dengan istilah visitasi, terdiri atas tiga tahap:
–Tahap 2. Penyusunan berita acara antara Tim Asesor dengan Pimpinan Prodi
–Tahap 3. Penyusunan berita acara antara Tim Asesor dengan Pimpinan Fakultas/ Sekolah Tinggi
–Tahap 4. Penilaian secara kualitatif dan kuantitatif
–Tahap 5. Penyusunan komentar dan rekomendasi
3. Pembobotan nilai, validasi hasil asesmen lapangan dan keputusan akreditasi
–Tahap 6. Perhitungan nilai terbobot hasil penilaian kuantitatif dan perhitungan nilai sementara akreditasi program studi sarjana
–Tahap 7. Validasi hasil asesmen lapangan Tim Asesor
–Tahap 8. Keputusan Akreditasi
>>>
Hasil Akreditasi
Hasil akreditasi institusi perguruan tinggi dinyatakan sebagai Terakreditasi dan Tidak Terakreditasi. Yang terakreditasi diberi peringkat:
- A (Sangat Baik) dengan nilai akreditasi 361 – 400
- B (Baik) dengan nilai akreditasi 301 – 360
- C (Cukup) dengan nilai akreditasi 200 – 300
- Tidak Terakreditasi dengan nilai akreditasi kurang dari 200
>>>
Penentuan skor akhir merupakan jumlah dari hasil penilaian (1) Borang program studi (75%), (2) Evaluasi diri program studi (10%), dan (3) Portofolio Fakultas/ Sekolah Tinggi (15%).
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 61
1. Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
2. Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional (Pasal 86, 87 dan 88)
Pasal 86
(1) Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan.
>>>
Masa Laku SK Akreditasi dan Biaya Pengurusan:
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 28 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tingg
Pasal 10
(1) Pelaksanaan akreditasi pada program dan/atau satuan pendidikan tinggi dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.
(2) Pelaksanaan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan kurang dari 5 (lima) tahun apabila perguruan tinggi yang bersangkutan mengajukan permohonan untuk diakreditasi ulang.
Pasal 11
Biaya pelaksanaan akreditasi program studi dan/atau satuan pendidikan tinggi yang dilaksanakan oleh BAN-PT ditanggung oleh Pemerintah.
>>>
Persyaratan pengajuan usulan proses akreditasi adalah:
1. Memiliki ijin pembukaan program studi
2. Memiliki ijin operasional program studi yang masih berlaku
3. Membuat surat pernyataan yang ditandatangani pimpinan perguruan tinggi
4. Menandatangani kode etik yang diterbitkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (Sudah disediakan di loket penerimaan borang)
file informasi, klik disini
>>>
Berkas yang harus diserahkan harus memenuhi persyaratan, informasi klik disini
>>>
Warna cover instrumen dan dokumen akreditasi sebagai berikut, untuk:
- IPT : Putih
- Diploma : Abu-Abu
- Sarjana (S1) : Biru
- S2 : Merah
- S3 : Kuning
- Prodi Profesi : Hijau
Sertakan juga:
- Surat Pengantar Akreditasi, dan
- Surat Pernyataan (draft – Word Document &PDF)
Berlaku bagi:
- Instrumen dari BAN-PT
- Dokumen dari PT
>>>
Borang dan Istrumen Terbaru
>>>
Kriteria Penilaian Instrumen Akreditasi Program Studi
Penilaian instrumen akreditasi program studi ditujukan pada tingkat komitmen terhadap kapasitas dan efektivitas program studi yang dijabarkan menjadi 7 standar akreditasi.
1. Visi, misi, tujuan dan sasaran, serta strategi pencapaiannya
2. Tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan dan penjaminan mutu
3. Mahasiswa dan lulusan
4. Sumber daya manusia
5. Kurikulum, pembelajaran, dan suasana akademik
6. Pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sistem informasi
7. Penelitian, pelayanan/pengabdian kepada masyarakat dan kerjasama
>>>
Ketujuh Standar ini dituangkan dalam 3 Berkas Penilaian yang terdiri dari:
1. Laporan evaluasi-diri program studi
2. Borang akreditasi program studi
3. Borang akreditasi unit pengelola program studi
>>>
Eleman Penilaian
Masing-masing berkas mencantumkan sejumlah elemen penilaian yang kemudian diuraikan dalam sejumlah deskriptor. Misalnya untuk program Sarjana terdiri dari 53 elemen penilaian yang terbagi 155 deskriptor ( 100 diisi prodi, 44 diisi unit pengelola dan 11 merupakan evaluasi-diri). Perincian bobot untuk masing-masing bisa baca di lampiran buku 4-Panduan Pengisian Borang. Penjelasan Deskriptor terdapat di buku 6-Matriks Penilaian Borang .
>>>
Dimensi Mutu
Adapun pertanyaan yang dituangkan dalam borang akreditasi disusun berdasarkan sebelas dimensi mutu yang menunjukkan mutu suatu program studi. Kesebelas dimensi mutu tersebut adalah:
1. relevansi (relevancy),
2. suasana akademik (academic atmosphere),
3. kepemimpinan (leadership),
4. kelayakan (appropriateness),
5. kecukupan (adequacy),
6. keberlanjutan (sustainability),
7. selektivitas (selectivity),
8. pemerataan (equity)
9. efektivitas (effectiveness),
10. produktivitas (productivity), dan
11. efisiensi (efficiency).
>>>
Cara Penilaian
Setiap standar dan atau elemen dalam instrumen akreditasi dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan quality grade descriptor sebagai berikut: Sangat Baik, Baik, Cukup, dan Kurang.
Untuk menetapkan peringkat akreditasi, hasil penilaian kualitatif tersebut dikuantifikasikan sebagai berikut.
Skor 4 (Sangat Baik), jika semua kinerja mutu setiap standar atau elemen yang diukur sangat baik.
Skor 3 (Baik), jika semua kinerja mutu setiap standar atau elemen yang diukur baik dan tidak ada kekurangan yang berarti.
Skor 2 (Cukup), jika semua kinerja mutu setiap standar atau elemen yang diukur cukup, namun tidak ada yang menonjol;
Skor 1 (Kurang), jika semua kinerja mutu setiap standar atau elemen yang diukur kurang.
Skor 0 (Sangat Kurang), jika semua kinerja mutu setiap standar atau elemen yang diukur sangat kurang atau tidak ada.
Penjelasan lebih rinci dan lengkap tentang cara penilaian bisa baca buku VI-Matriks Peniaian Borang
>>>
Pentahapan dan Prosedur Penilaian Instrumen Akreditasi Program Studi Sarjana
Sebelum dinilai, dokumen akreditasi program studi diverifikasi pemenuhan persyaratan awal oleh tim khusus BAN-PT. Setelah terbukti memenuhi persyaratan awal, dokumen akreditasi dinilai melalui delapan tahap. Tahap 1 s.d. tahap 5 dilakukan oleh Tim Asesor, sedangkan tahap 6 s.d. tahap 8 dilakukan oleh BAN-PT. Kedelapan tahap tersebut adalah sebagai berikut.
Proses Akreditasi
1. Asesmen kecukupan, yang sebelumnya dikenal dengan istilah desk evaluation, berupa:
–Tahap 1. Penilaian secara kualitatif dan kuantitatif oleh masing-masing anggota Tim Asesor.
2. Asesmen lapangan, yang sebelumnya dikenal dengan istilah visitasi, terdiri atas tiga tahap:
–Tahap 2. Penyusunan berita acara antara Tim Asesor dengan Pimpinan Prodi
–Tahap 3. Penyusunan berita acara antara Tim Asesor dengan Pimpinan Fakultas/ Sekolah Tinggi
–Tahap 4. Penilaian secara kualitatif dan kuantitatif
–Tahap 5. Penyusunan komentar dan rekomendasi
3. Pembobotan nilai, validasi hasil asesmen lapangan dan keputusan akreditasi
–Tahap 6. Perhitungan nilai terbobot hasil penilaian kuantitatif dan perhitungan nilai sementara akreditasi program studi sarjana
–Tahap 7. Validasi hasil asesmen lapangan Tim Asesor
–Tahap 8. Keputusan Akreditasi
>>>
Hasil Akreditasi
Hasil akreditasi institusi perguruan tinggi dinyatakan sebagai Terakreditasi dan Tidak Terakreditasi. Yang terakreditasi diberi peringkat:
- A (Sangat Baik) dengan nilai akreditasi 361 – 400
- B (Baik) dengan nilai akreditasi 301 – 360
- C (Cukup) dengan nilai akreditasi 200 – 300
- Tidak Terakreditasi dengan nilai akreditasi kurang dari 200
>>>
Penentuan skor akhir merupakan jumlah dari hasil penilaian (1) Borang program studi (75%), (2) Evaluasi diri program studi (10%), dan (3) Portofolio Fakultas/ Sekolah Tinggi (15%).
Langganan:
Postingan (Atom)